INDONESIAN ASSEMBLY Of MOSQUE YOUTH DPD BKPRMI TOBASAMOSIR

Jumat, 13 April 2012

Pendukung munafik dan munafik pada pendukung

Oleh: Mustamar Iqbal Siregar, S.HI*
Sumber Artikel : http://dpdbkprmisbg.blogspot.com/p/opini_03.html
OPINI :

Pesta demokrasi Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilu Kada) yang sekarang ini terjadi di banyak daerah di Indonesia telah menguras energi, pikiran dan waktu sebagian besar rakyat di seantero negeri ini, terutama masyarakat yang berdomisili di daerah yang sedang melaksanakan Pemilu Kada. Ada yang berperan sebagai pengamat, Tim Sukses, dan Simpatisan. Bahkan ada yang hanya menonton bisu. Mungkin di antara Tim Sukses dan Simpatisan banyak yang sudah berpengalaman gaek dalam membidani Pemenangan seorang Calon. Dari sekian banyak Calon yang pernah mereka perjuangkan ada di antaranya yang sudah menjadi Kepala Daerah dan tidak sedikit juga yang kalah.
Bagi Tim Sukses dan Pendukung yang Calonnya beruntung menang, biasanya, akan mengeluh paska merasakan pola kepemimpinan Calon yang didukung setelah beberapa bulan atau tahun ke depan. Stigma sumbang pun akan bermunculan di tengah – tengah masyarakat berbarengan dengan semakin terkuaknya kemunafikan atas janji-janji yang pernah diucapkan. Lain halnya dengan Calon yang tidak beruntung, di mana pada saat evaluasi kekalahan dilakukan akan bermunculan segudang nama – nama Tim Sukses dan Pendukung yang munafik sebagai penyebab dari kekalahan yang dialami. Kondisi inilah yang kerap terjadi di berbagai ajang pemilihan, termasuk Pemilukada. Karena itulah pada momentum ini penulis mencoba mengelaborasi beberapa praktek kemunafikan dalam Pemilukada dengan mengambil Kota Sibolga sebagai salah satu sample.

Sample: Pemilukada Kota Sibolga Tahun 2010

Proses Pemilukada Kota Sibolga Tahun 2010 telah berjalan sampai pada tahap penetapan dan pencabutan nomor urut Calon. Dapat dipastikan ada lima pasangan yang akan bertarung pada Pemilukada Kota Sibolga tahun ini. Di antaranya adalah Pasangan Wilfren Gultom, SE. MM – Ir. Hazmi Arif Simatupang (Nomor Urut 1), Drs. H. M. Syarfi Hutauruk – Marudut Situmorang, AP, MSP (Nomor Urut 2), H. Afifi Lubis, SH – Halomoan Hutagalung, SE (Nomor Urut 3), dan Hotman Silalahi, SH – Syaril Piliang Guci (Nomor Urut 4), serta dr. Rudolf Hamonangan Sianturi – Ir. Ulam Raya Hutagalung, M.Si (Nomor Urut 5). Hingga sekarang ini, kelima pasangan Calon tersebut tentu sudah melakukan proses sosialisasi dan komunikasi politik dengan masyarakat Kota Sibolga. Ada yang disambut dengan sikap simpatik dan ada juga yang bersikap sinis. Ada yang disambut dengan sikap skeptis (ragu-ragu) serta ada juga yang bersikap apatis (tidak mau tau). Dari sekian banyak peristiwa yang terjadi dalam proses sosialisasi dan komunikasi politik pada Pemilukada Kota Sibolga tahun ini, terkandung banyak kisah kemunafikan yang dapat menjadi pelajaran dalam upaya merestorasi proses demokratisasi kita. Praktek kemunafikan yang penulis maksud dalam hal ini tentu yang relevan dengan pengertian terminologis sebagaimana yang disunnahkan oleh Rasulullah Muhammad SAW yakni; apabila berkata ia dusta; apabila berjanji tidak ditepati; dan apabila diberi amanah ia khianat.
Penulis sering mendengar cerita banyaknya masyarakat yang apabila ditanya Pilihannya oleh seorang Calon, maka ia akan menjawab “kemana lagi kalau bukan mendukung Bapak”. Tapi ketika ditanya oleh Calon yang lain, ia juga menjawab dengan bahasa yang sama. Pendirian ini dalam terminologi politik masyarakat Kota Sibolga disebut “Kapalo Duo” (Kepala Dua). Atau yang dalam istilah lain orang tersebut tergolong tipe orang yang “Ada di mana-mana dan tak ke mana-mana”. Sama halnya dengan cerita masyarakat yang ingin berurusan dengan Pemerintah Kelurahan maupun Kecamatan. Karena Lurah dan Camat sudah ikut dalam dukung - mendukung Calon, maka masyarakat yang mau ngurus Raskin, KTP, KK, Jamkesmas, maupun urusan-urusan lainnya harus menyesuaikan pilihannya dengan pilihan Lurah ataupun Camat masing – masing meskipun sebenarnya tidak sama. Ada lagi kisah seorang sahabat penulis yang pada mulanya mendukung salah satu Calon karena Calon tersebut telah berjasa menjadikannya sebagai seorang Ketua Organisasi Pemuda. Awalnya beliau cukup mengelu-elukan dan senantiasa mendampingi Calon tersebut dalam setiap melakukan sosialisasi diri. Belakangan, entah apa penyebabnya orang tersebut telah beralih ke Calon lain dengan baju Partainya. Di jajaran Pemerintahan pun demikian, banyak aparat Pemerintah yang harus meng-iya-kan apa Pilihan atasannya padahal belum tentu sama dengan pilihannya. Semua kisah ini merupakan bentuk kemunafikan seorang pendukung pada Calon yang didukungnya atau kemunafikan rakyat pada nuraninya. Kenapa kita harus takut untuk jujur? Apa yang kita takutkan? Bukankah hidup ini selalu dihadapkan pada dua pilihan? Surga – Neraka, Menang – Kalah, Benar – Salah, Untung – Rugi, dan lain sebagainya. Dan bisakah kita pastikan kita akan selalu benar dan menang? Pertanyaan – pertanyaan inilah yang harus menjadi cemeti bagi kita semua.
Di samping kisah kemunafikan seorang pendukung, penulis juga sering menyaksikan dan mendengar kisah kemunafikan seorang Calon dalam proses sosialisasi dan komunikasi politik pada Pemilukada Kota Sibolga tahun ini. Ada Calon yang menyebut Calon lain tidak akan dapat perahu Partai Politik, ternyata dapat dan sekarang sudah sama – sama punya nomor urut. Ada lagi Calon yang karena dia berposisi signifikan di Pemerintahan, lalu ia menjanjikan akan meloloskan anak salah satu pendukungnya menjadi CPNS pada Penerimaan CPNS Tahun lalu. Karena anak tersebut ternyata tidak lulus, pendukung Calon itupun akhirnya lari dan mendukung Calon lain. Ada juga Calon yang menabur janji akan memberikan gaji bulanan pada Timnya dengan jumlah “sekian”, ternyata itupun belum ada. Bahkan isu terkini, ada Calon yang sudah berjanji akan menabur uang sejumlah dua ratus ribu rupiah per-orang saat “serangan fajar” atau “serangan imsak” jelang hari “H” Pemilihan. Jika ini nantinya ternyata tidak ada atau kurang dari apa yang dijanjikan, maka rakyat akan segera meninggalkan Calon tersebut dan ke depan Calon – Calon seperti inilah yang akan membohongi rakyat kalau sudah menjadi pemimpin.
Kisah – kisah inilah yang merupakan sample dari cerminan Pemilukada di berbagai daerah. Bayangkan, betapa bobroknya negeri ini kalau setiap sendi kehidupan harus dilakoni dengan kemunafikan. Terlebih di ranah politik yang merupakan dasar untuk melahirkan kepemimpinan nasional, regional dan lokal. Seorang Calon yang didukung oleh dominasi orang-orang munafik maka akan tipis harapan untuk menang. Begitupun seorang Calon yang sudah dominan berkata dan bersikap munafik kepada pendukungnya cepat atau lambat pasti akan segera ditinggalkan. Yang jelas, tidak ada yang patut untuk dipilih dari kedua pilihan di atas. Dan apabila kita melanggengkan kedua pilihan di atas, maka tidak hanya rugi bahkan kita sudah turut mencederai proses demokratisasi yang sedang berkembang di republik ini.

Harapan Penulis

Bagi penulis, reality story (kisah nyata) manusia hipokrit (munafik) di atas pada akhirnya hanya menyisakan sekelumit harapan. Harapan agar masyarakat daerah yang saat ini sedang mengikuti proses Pemilukada lebih berani untuk jujur menyuarakan pilihan. Kita harus mampu memanifestasikan prinsip vox populi vox dei (suara rakyat suara Tuhan). Adagium ini hendaknya tidak hanya milik Mahasiswa saat melakukan gerakan aksi demonstrasi atau milik para buruh saat menuntut haknya yang diabaikan. Tapi adagium ini juga harus menjadi milik rakyat saat menentukan pilihan politiknya. Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan “suara rakyat adalah suara Tuhan” bukan berarti suara rakyat identik dengan suara Tuhan. Tapi suara rakyat harus bersumber dari kebenaran, bukan kemunafikan. Suara kemunafikan hanyalah suara iblis yang menyesatkan.
Disadari atau tidak, saat ini perkembangan demokrasi politik di Indonesia sudah bejalan lebih baik. Dulu kita tidak pernah memilih langsung Calon Pemimpin kita, tapi sekarang sudah. Dulu Wakil Rakyat (DPR/D) kita dipilih berdasarkan nomor urut, tapi sekarang berdasarkan suara terbanyak. Pada saat pertama kali rakyat diberikan otoritas memilih langsung Calon Pemimpinnya, rakyat cenderung menitik beratkan pilihan pada besar kecilnya uang yang diberikan oleh Calon. Tapi sekarang seolah lidah kita sudah fasih mengatakan “terima uangnya tapi jangan pilih orangnya”. Modernisasi politik ini harus kita dukung hingga kita mampu meralisasikan kejujuran substansial. Saat ini dan di hari yang akan datang kita tidak perlu lagi berbohong walau pilihannya tetap benar. Kita harus berani jujur dan tegas untuk menyatakan pilihan yang benar. Ungkapkanlah kebenaran itu walaupun pahit rasanya. Jika Calon yang tidak benar datang mengajak kita, maka kita harus berani meng-counter tegas, “Ma’af, saya tidak bisa mendukung Anda” atau “Ma’af, saya sudah punya pilihan sendiri” atau “Ma’af saya tidak bisa terima uang Anda”. Dengan demikian, maka peta politik pada Pemilukada Tahun ini tidak lagi berwarna buram (susah ditebak siapa yang kemana dan siapa yang menang), tapi sudah mulai jelas dan dapat diklasifikasikan. Siapa yang lebih besar mendapatkan dukungan publik maka dialah yang akan menjadi pemenang. Karena tidak ada lagi yang berdusta dan tidak ada lagi yang berkhianat ataupun “kutu loncat”.
Bagi para Calon, penulis juga berharap agar lebih membangun kejujuran dalam berpolitik. Menjadi seorang politisi hipokrit hanya akan membuat rakyat geram. Jangan kita tabur janji kalau kita tak mampu. Mungkin sesaat kita merasa banggga karena janji palsu yang kita iming-imingkan telah mampu menghipnotis massa. Tapi sesungguhnya ketika kebohongan itu terungkap, maka kerugianlah yang akan kita dapatkan. Dengan gampang mereka tidak hanya meninggalkan kita tapi juga melecehkan kita. Ungkapkanlah sesuatu apa adanya, tidak berlebihan. Karena sesuatu yang berlebihan akan lebih dekat pada kebohongan dan kemunafikan. Bersikaplah jujur selama dan paska Pencalonan agar rakyat bisa menjadikan kita tauladan.
Penutup
Bersikap munafik dalam berpolitik hanya akan menghasilkan kerugian. Kalau Calon dan Pendukung sudah hipokrit (munafik) maka sampai kapan pun kita tidak akan mendapatkan pemimpin yang benar dan bermanfaat bagi pembangunan daerah. Budayakanlah sikap jujur dalam berpolitik agar proses demokratisasi di negeri kita ini berjalan lebih baik. Katakan pilihanmu dan jangan ada dusta di antara kita.

  Penulis adalah Ketua Umum DPD Badan Komunikasi
  Pemuda Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Kota Sibolga
  Periode 2009-2013 dan
  Mantan Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM)
  FIAI UII Jogjakarta

0 komentar:

Posting Komentar